Review Film Rambut Kafan, Adaptasi Kisah Nyata yang Dulu Viral
Film Rambut Kafan telah rilis pada 18 Januari 2024. Disutradarai oleh Helfie Kardit, termasuk pembuat skenarionya. Film ini didistribusikan oleh Voxineema, sementara nama para bintang sudah tertulisa dalam ‘tanda kurung buka dan tutup’ di sinopsisnya.
“Rambut Kafan” mengisahkan Anwar (Yama Carlos), seorang pengusaha sukses, dan putrinya Tari (Bulan Sutena) yang sudah hampir tiga tahun merawat ibunya, Mirna (Virnie Ismail). Meskipun Mirna mengalami keguguran tiga kali, keinginannya memiliki anak laki-laki tetap kuat. Namun, Mirna pun meninggal. Sebelum meninggal, Mirna menyampaikan sesuatu yang samar kepada Tari.
Kisah berlanjut dengan munculnya Suban (Aiman Ricky), adik Anwar, yang ingin mendapatkan bagian dari warisan keluarga. Konflik muncul ketika Suban ingin menjual rumah keluarga, yang memicu kecurigaan Tini (Nita Gunawan), asisten rumah tangga yang setia. Tari, semula nggak berprasangka buruk pada Suban, tetapi seiring waktu, Tari mulai menyelidiki Suban bersama Navi (Maghara Adipura). Dalam investigasinya, Tari curiga terhadap keterlibatan Suban dalam kematian ibunya.
Ulasan:
Katanya ini film berdasarkan kisah nyata yang dulu viral di Tiktok, tentang terbongkarnya media santet berupa ‘rambut dan kain kafan’. Ya, aku tahu berita viral itu. Setelah menonton film ini, rupanya nggak jauh-jauh dari ‘pesugihan’.
“Rambut Kafan” adalah film yang ‘membagongkan’, tapi dalam konotasi buruk. Sebagai penonton, aku kecewa ‘tingkat dewa’! Tentu saja, sebagai konsumen tiket filmnya, rasanya wajar untuk mengeluarkan unek-unek atas pengalaman menonton film, terutama jika harapan nggak terpenuhi. Sudah keluar duit tiket nonton, masa mau mengeluarkan unek-uneknya dilarang? Kudu bikin film dulu baru boleh komen? Lah, lucu! Kalau nggak mau dikomentari, ya, filmnya jangan ditayangkan. Eh.
Salah satu hal yang patut diapresiasi dari film ini adalah set production yang cukup mengesankan. Pengaturan set dan desain visual, serta detail-detail kecil dalam set menciptakan atmosfer yang menurutku bikin menarik. Namun, selepas seperempat menit durasi bergulir, alurnya sangat nggak mampu menyelamatkan film ini.
Ditambah sound effect yang dihadirkan terasa lebay banget. Meskipun adegan yang ditampilkan lagi nggak seram, sound effect-nya kayak lagi ada setan. Mentang-mentang horor, segala adegan dikasih efek suara seram. Hmmm.
Terus lagi, dialog-dialog dalam film terasa membingungkan dan bahkan pada beberapa momen membuat aku tertawa (dalam artian menyesal nonton tapi sudah keluar duit). Banyaknya dialog yang standar saja, malah kayaknya mending nonton sinetron.
Pengembangan karakter yang kurang memadai, juga turut mempengaruhi daya tarik naratifnya. Sebagai penonton, aku merasa sulit untuk terhubung dengan alur cerita dan karakter-karakter yang dibawakan.
Para pemain, meskipun memiliki potensi, sayangnya nggak mampu memberikan penampilan yang memuaskan. Banyak adegan yang terasa kurang bermakna, dan chemistry antar pemain nggak selalu terasa kuat. Beberapa scene terlalu dipaksakan, sehingga durasi kesannya jadi dipanjang-panjangkan, ‘boro-boro jadi lanjaran kisah yang baik’.
Untuk bagian ending, sangat mengecewakan! Aku hampir nggak mempermasalahkan penampakan hantu yang terlihat aneh, tetapi dengan adegan akhirnya, astaga, banyak pertanyaan yang nggak terjawab. Seolah-olah film ini kayak mau dilanjutkan lagi. Entahlah. Skor dariku: 2/10 cukup. Semoga review ini dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan bermanfaat bagi pembuat film untuk perbaikan di masa mendatang. Kamu yang belum nonton, jangan berekspektasi tinggi, ya.